Langsung ke konten utama

Jawaban Nomor 3 dari Tugas UTS Bahasa Indonesia

Pertanyaan : Buatlah opini berdasarkan topik yang anda tentukan pada perkuliahan Bahasa Indonesia!
Jawaban : 
Topik : Cara agar menjauhi perkara dari yang namanya menjudge ustadz yang memiliki pemahaman agama yang beebeda
Solusi :
1. BERLAPANG DADA TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT
     Saat Khalifah Harun Ar-Rasyid berniat mengirimkan salinan kitab Al-Muwaththa ke seluruh negeri, sebagai panduan bagi setiap qadhi (hakim, ed) dalam memutuskan hukum, Imam Malik, sang penulis kitab, menolak hal tersebut. Karena menurut beliau, di setiap negeri sudah ada ulama, dan masing-masing memiliki pandangannya sendiri-sendiri. (Baca: Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan, hlm. 350-351)
     Inilah sikap sejati orang yang berilmu. Walaupun beliau punya pandangan, dan tentu beliau menganggap pendapatnya itu adalah pendapat yang benar, namun beliau tidak pernah menafikan adanya pandangan ulama lain yang berbeda. Seandainya beliau mau, tentu beliau bisa saja menyetujui keinginan sang Khalifah, hingga Al-Muwaththa dan madzhab (aliran fiqih) beliau tersebar di seluruh negeri Islam yang dikuasai ‘Abbasiyah.
     Dalam kesempatan lain, Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
     Artinya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah. ” (Dikutip dari kitab I’lam Al-Muwaqqi’in ‘An Rabb Al-‘AlNAK, Juz 1, hlm. 60 karya Ibn Qayyim Al-Jauziyyah)
     Lihatlah perkataan Imam Malik di atas, beliau yang kapasitas keilmuannya tak diragukan lagi, Imam Darul Hijrah, guru para ulama besar, ternyata tak memonopoli kebenaran. Beliau, dengan rendah hati, mengakui bahwa beliau hanyalah manusia biasa, yang bisa jadi benar, bisa juga keliru. Coba bandingkan dengan sikap sebagian orang saat ini, keilmuannya belum sampai setengah dari yang dimiliki Imam Malik, namun lagaknya sudah seperti ulama besar. Dengan gampangnya mereka meremehkan, menghujat dan bahkan menyesatkan pihak lain yang mengikuti pendapat berbeda dengan yang dianutnya.
     Dalam riwayat yang masyhur, disebutkan di banyak kitab, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsan (suatu metode pengambilan hukum, ed), sesungguhnya ia telah membuat syari’at sendiri. ” (Penisbatan ini misalnya disebutkan oleh Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa: 171, Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam: 4/156, dan Al-Qarafi dalam Al-Furuq: 4/145).
     Dan sudah masyhur, Imam Malik adalah ulama yang menggunakan istihsan dalam ushul fiqihnya (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu: 1/46). Apakah Imam Asy-Syafi’i pernah menghujat atau menyesatkan Imam Malik? Tak pernah sama sekali.
     Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa wajib wudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Kemudian beliau ditanya, “Jika imam shalat keluar darah, dan ia tidak berwudhu lagi, apakah saya tetap shalat di belakangnya?”, Imam Ahmad menjawab, “Mengapa engkau tidak mau shalat di belakang Sa’id bin Al-Musayyib dan Malik?. 
     Lihatlah Imam Ahmad, walaupun beliau berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahmatullahi ‘alaihima, tidak sedikitpun beliau merendahkan kedudukan mereka berdua.
Perbedaan pendapat, dalam perkara ijtihadi, sangat memungkinkan melahirkan beragam pendapat. Menghadapi hal ini, seharusnya kita bisa berlapang dada. Walaupun kita menganggap pendapat yang kita ikuti lebih kuat, kita tetap harus menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Adanya keragaman pendapat ini juga seharusnya membuka cakrawala berpikir kita, jika ternyata kebenaran ada pada orang lain, kita harus siap untuk menerima kebenaran tersebut dan meninggalkan pendapat kita sebelumnya.
2. MEMAHAMI HAL-IHWAL KHILAFIYYAH
     Sebagian orang mengira bahwa dalam persoalan khilafiyyah (perbedaan pendapat, ed), seseorang boleh mengambil atau mengikuti pendapat mana saja yang ia kehendaki, atau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dalam semua persoalan, tanpa ada hajat terhadap hal tersebut. Ini adalah sebuah kekeliruan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
     1. Dari beberapa pendapat ulama yang berbeda (khilaf tadhad) dalam satu persoalan, ada pendapat yang benar, dan ada pendapat yang keliru.
     Karena itu, ketika Imam Malik ditanya tentang ikhtilaf yang terjadi di antara shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Ada yang salah, ada yang benar. ”
     Jadi, realita adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang pendapat-pendapat tersebut saling meniadakan (khilaf tadhad), tentu ada pendapat yang benar, dan ada pendapat yang salah. Tidak kita katakan, semua pendapat itu benar, dan boleh kita ambil/pakai sesuka kita.
     2. Bagi seorang alim yang mampu melakukan tarjih (artinya: ia sudah memiliki keahlian untuk berijtihad, meskipun baru ijtihad juz’i), ia perlu melakukan tarjih (membedakan pendapat yang kuat daripada yang lemah) antar pendapat yang ada, untuk mengetahui pendapat mana yang terkuat MENURUT DIRINYA.
     Artinya, jika seorang alim di masa sekarang misalnya, memilih menguatkan pendapat Imam Abu Hanifah dalam satu persoalan, dibandingkan pendapat Imam Asy-Syafi’i, maka MENURUT DIRINYA, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Abu Hanifah. Konsekuensinya, sang alim ini harus beramal dengan pendapat yang terkuat menurut hasil kajiannya.
     Namun, ia tak boleh memaksa orang lain, apalagi sesama ulama, untuk mengikuti hasil tarjih-annya. Karena, bisa jadi, ulama lain -berdasarkan hasil kajiannya- menganggap pendapat Asy-Syafi’i yang lebih kuat.
     3. Bagi orang-orang yang belum mampu melakukan tarjih (dan mayoritas umat Islam berada pada posisi ini), tentu ia tak bisa melakukan tarjih dari sisi argumentasi masing-masing ulama. Orang buta tak akan mampu membedakan mana warna merah dan mana warna biru.
     Lalu apa yang harus dilakukan muqallidun (orang awam, ed) ini? Yang bisa dilakukannya adalah melakukan tarjih terhadap pribadi ulama mujtahid yang akan ia taqlidi (ikuti, ed). Misal: ia lihat mana ulama yang lebih alim (atau: lebih masyhur kealimannya), atau mana yang lebih wara’, dan seterusnya.
Tarjihnya bukan pada dalil, karena ia tak mampu melakukan itu.
     Dalam Al-Muwafaqat dikatakan: “Dua orang mujtahid di hadapan seorang yang awam, itu seperti dua dalil di hadapan seorang mujtahid. Maka, sebagaimana wajib atas seorang mujtahid untuk melakukan tarjih atau tawaqquf (tidak memilih pendapat, ed), maka demikian pula untuk seorang muqallid.”
     Artinya, seorang muqallid sekalipun, tidak boleh asal ambil pendapat sesuka hatinya. Ia tetap perlu melakukan tarjih, namun bukan tarjih dalil, melainkan memilih pendapat dari ulama yang ia anggap lebih alim, lebih wara’, dan semisalnya.
     4. Terkait poin nomor 3, itu kalau ia harus berhadapan dengan dua pendapat ulama yang berbeda, atau mendapatkan fatwa dari dua mufti yang berbeda.
     Jika tidak, maka ia tinggal mengikuti fatwa dari mufti yang ada di negerinya, atau yang mudah diaksesnya.
     5. Lalu, toleransinya bagaimana? Toleransinya adalah: Kita menghormati pendapat yang berbeda dengan yang kita ikuti (meskipun pendapat itu kita anggap lemah), kita hormati ulama yang mengeluarkan pendapat tersebut, kita hormati juga orang-orang yang mengikuti pendapat tersebut.
     Jika pun ingin mendiskusikan perbedaan pendapat ini (jika ia memiliki kemampuan), harus dilakukan secara santun dan di forum ilmiah khusus, bukan di tempat umum, yang diperhatikan oleh orang yang paham maupun tidak paham.
     6. Perbedaan pendapat ini harus disadari sebagai perbedaan pendapat yang biasa terjadi di kalangan ulama, dan tak perlu dijadikan landasan permusuhan antar sesama muslim. Selama perkara ushul (pokok, ed) agama yang qath’i (pasti, ed), kita masih sama, berarti kita masih bersaudara dalam iman dan Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban Nomor 4 dari Tugas UTS Bahasa Indonesia

             BIOGRAFI USTADZ KHALID BASALAMAH        Dr. Khalid Zeed Abdullah Basalamah, Lc., M.A. atau lebih dikenal Khalid Basalamah adalah seorang pendakwah Indonesia yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau l ahir pada  1 Juni 1975 yang kini berusia 45 tahun. Nama lengkap:  Khalid Zeed Abdullah Basalamah Gelar (Islam): Ustadz Gelar akademik (Prefiks):  Dr. Gelar akademik (Sufiks):  Lc., M.A.       Beliau adalah keturunan Arab dari daerah Hadramaut, Yaman dilihat dari nama belakangnya yang bergelar marga Basalamah.       Beliau menghabiskan kecilnya ia habiskan di Makassar, setelah menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah pertama, Khalid Basalamah kemudian bernagkat ke Madinah, Saudi Arabia dan melanjutkan pendidikannya SMA nya disana di tahun 1990an.       Setiap harinya yang ia lakukan adalah belajar agama seperti belajar tentang ayat-ayat alquran serta hadist nabi. Kegiatan lain yang Khalid Basalamah lakukan hanyalah pergi ke sekolah ataupun pergi

Jawaban Nomor 2 dari tugas UTS Bahasa Indonesia

Pertanyaan :  Jelaskan pemahaman anda tentang : a. Ejaan dalam Bahasa Indonesia b. Ragam Bahasa Indonesia c. Istilah dan kata dalam Bahasa Indonesia Jawaban : a. Ejaan dalam Bahasa Indonesia        Ejaan adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan lambang-lambang bunyi bahasa, dibentuknya tulisan, serta penggunaan tanda-tanda baca.        Ejaan Bahasa Indonesia awalnya adalah sebuah warisan dari Bahasa Melay, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1972. Yang kini dikenal dengan EYD ( Ejaan Yang Disempurnakan ). b. Ragam Bahasa Indonesia        Ragam Bahasa adalah bentuk bahasa yang bervariasi menurut konteks pemakaian. Ragam Bahasa Indonesia dibagi beberapa macam, yakni :     *Berdasarkan penutur         >Dialek         >Sosiolek     *Berdasarkan sarana/cara         >Lisan         >Tulis     *Berdasarkan pemakaian         >Hukum         >Komuniksi         >Agama     *Berdasarkan waktu     *Berdasarkan situasi c. Istilah dan kata dalam Bahasa Indonesia   •Istilah adalah